15 April 2010

MANUSIA DENGAN ALAM NYA

MANUSIA DENGAN ALAMNYA
(FILSAFAT MANUSIA)

Pantheisme:

Pantheisme lingkungan Jawa:
Kebudayaan Hindu banyak pengaruhnya dalam kebudayaan Jawa terutama Jawa-Tengah. Tidak heran, karena di Jawa-Tengah berabad-abad ada kerajaan yang bersifat Hindu; ada yang menyebut kebudayaan itu bersifat Hindu, sementara ada juga yang menyebut bahwa kerajaan itu bersifat Hindu-Jawa, atau Jawa – Hindu.
Bahwa ada paduan antara kebudayaan yang terdapat di jawa sebelum masa Hindu dan yang mendatang dari tanah Hindu, itu tak dapat disangkal lagi. Jadi dalam filsafat, menurut arti seluas-luasnya, alam pikiran manusia itu diwarisi juga oleh penghuni jawa-modern ini. Mungkin ada yang menganggap ganjil, bahwa ada alam pikiran yang bersifat pantheistis, sedangkan sudah berabad-abad lamanya di daerah itu agama Islam di anut orang. Walaupun demikian , kita hendaklah ingat benar, bahwa dalam kalangan filsafat Islam, atau lebih baik dikatakan: di antara filsuf-filsuf yang beragama Islam, faham pantheisme ini tidaklah asing. Dalam abad-abad pertengahan filsuf-filsuf Islam terkenal seperti Ibn Siena, Ibnu Al’arabi banyak benar kena pengaruh Neoplatonisme. Sehingga tidak heranlah, bahwa pengaruh pantheisme itu tidaklah asing juga bagi agama Islam yang beberapa abad yang lalu masuk ke Indonesia. Banyak karya tertulis yang berisikan renungan dan pandangan mengenai Tuhan dengan dunia serta alam. Istilah Arab banyak juga dipakai tetapi istilah Jawa serta Sansekerta juga tidak asing. Di samping kata Allah terkenal juga istilah suksma, Pangeran, Hyang widi, gusti.
Hubungan manusia dengan Tuhan ini kerapkali dimajukan; sebab terutama bukanlah filsafat secara teori yang dikemukakan, melainkan secara praktis dan timbullah disini pandangan mengenai inti manusia dan terjawab pertanyaan apakah sebenarnya manusia itu. Jadi yang hendak dicari jawabnya bukan manusia satu persatu yang terlibat oleh segala keduniawian dengan segala pengetahuan yang banyak kelirunya itu, melainkan manusia yang benar-benar manusia yang sempurna; Insan Kamil. Dalam renungan-renungan mereka tentang manusia, maka yang dimaksud adalah manusia sempurna ini. Paling sedikit manusia biasa itu harus diberitahu dulu akan intinya, maka pengetahuan yang harus dimiliki manusia lebih dulu itulah yang disebutnya manusia sejati; dipergunakan istilah ngelmu. Maka ternyatalah bahwa dalam intinya adalah Tuhan sendiri. Dengan kata-kata yang sering amat indah, terutama jika diajukan ibarat atau persamaan, bentuk bahasanya amat menarik, sehingga pembaca tak tahu lagi mana yang sebenarnya dan mana yang merupakan persamaan. Cara pembuktian tidak selalu melalui logika, tetapi biasanya yang dipakai itu analogi atau kias. Dalam bentuk dialog tersimpulkan pendapat-pendapat tentang Tuhan atau manusia; dengan contoh-contohnya yang amat menarik diajukan inti manusia serta hubungannya dengan Hyang Suksma. Tetapi tidak hanya tahu saja yang diberikan kepada manusia, sebagaiInsan Kamil haruslah ia berusaha untuk mencapai kesatuan dengan Tuhannya, atau lebih baik haurslah ia kembali kepada ke-ada-annya yang sebenarnya.cara mencapai kesatuan itu disebut laku. Tahu dan laku inilah yang merupakan isi utama dari kesusasteraan yang kerapkali disebut kesusasteraan suluk.
Maka ternyatalah bahwa faham pantheisme ini jelas terdapat pada kesusasteraan tersebut. Tidak semua sama jelasnya, tetapi ada banyak yang terang-terangan; tak jemu-jemunya ditegaskan bahwa manusia itu berasal dari Tuhan dan ke-Tuhan lah kembalinya.
Tetapi ‘pulang’ ini jangan kira sebagai ciptaan Tuhan yang kembali kepada pangkuan asalnya, sebagai abdi yang setia. Tidak, ‘pulang’ ini berarti sampai kepadea asalnya, yaitu adanya yang sebenarnya. Istilah sangkan-paran amat popular dalam kalangan penganut faham yang kita bentangkan diatas itu.
Sebagai suatu contoh dari banyak macam ajaran atau hasil renungan kami ajukan di bawah ini:

Ing Hyang Suksma and andikeng Insan Kamil:
Dening ananira
Awakira awak mami,
Uripingsun uripira,
Cermin siji apan sareng ngilo singgih,
Wewayangan tunggal,
Pan pengawak tunggal jati
Rupa tunggal kinembulan.
Sasolahe kaula solah ing Gusti,
Karsa ning kaula
Lestari karsa ning Gusti
Karsa ning Purba-wisesa.

Terjemahan:

Hyang Suksma (Tuhan) besabda kepadaInsan Kamil:
Adapun ada-mu demikianlah halnya:
Badanmu ialah badanku,
Hidupku ialah hidupmu,
Satu cermin, berdua yang bercermin
Bayang-bayangnya satu,
Karena (dengan) sesungguhnya berdua hanya berbadan satu;
Tingkah hamba adalah tingkah Tuhan
Kehendak abdi
Adalah kehendak Tuhan
Sang Puraba-Wisesa

Identitas mahluk- disini manusia dengan Tuhan tak dapat lebih jelas lagi di tegaskan. Tuhan dan manusia adalah sama, Tuhan adalah manusia dan manusia adalah Tuhan. Dari pada itu kami ulangi, bahwa hubungan antara manusia dan Tuhan merupakan identitas, relasi yang mengandung dualitas tak mungkin, abdi dan Tuhan tak ada, tak ada yang mengabdi, tak perlu ada yang memper- Tuhan.

Di bawah ini kami ikutkan renungan sebagai akibat dari ajaran tersebut di atas:

Pan wruh sejati ningkira
Kira tan mangeran diri
Tan mangeran tawang tuwang,
Tan mangeran ing papan kang tinulis,
Tan mangeran swara wuwus,
Tan mangeran kahanan,



Tang mangeran kang ora, tan mangeran wruh
Tan mangeran rericikan,
Tan mangeran agal repit,
Tan mangeran ing Hyang Suksma,
Tan mangeran ing nabi miwah wali,

Tan mangeran guru ratu,
Tan mangeran sesame
Tan mangeran mring pribadi dawakipun,
Tan mangeran barang titah
Tan mangeran rame sepi

Terjemahannya:

Karena tahu benar (tentang identitas Tuhan dan manusia), maka manusia tak mempertuhan diri

Tak menuhankan awing-awang suwung
Tak mempertuhan papan tertulis
Tak mempertuhan swara dan kata
Tak mempertuhan ada ataupun tiada dan pengetahuan
Tak mempertuhan yang bermacam-macam
Tak mempertuhan yang kasar dan yang halus
Tak mempertuhan Hyang Suksma
Tak mempertuhan nabi dan wali
Tak mempertuhan guru dan ratu
Tak mempertuhan sesama
Tak mempertuhan diri dan pribadi
Tak mempertuhan mahluk
Tak mempertuhan ramai maupun sepi




Demikian ada identitas antara manusia dan Tuhan, maka tak ada relasi apapun padanya dengan siapapun juga, tentu tak ada relasi yang merupakan pengabdian, pun terhadap Tuhan, Hyang Suksma. Ini memang yang menjadi dasar ungkapan tersebut di atas. Diutarakan sebagai berikut:

Naming sirna ning teleng tyas,
Kang tan labet sadrah ing angina-angin
Lucut karone tan mojud
Pan datan kawimbuhan,
Datan amimbuhi mring lawanipun,
Pand datan angraga suksma,
Suksma tanpa raga jati,
Komplang roro ning atunggal
Sampurna ning kaula lawan gusti
Suh sirna byuh ilang jumbuh
Wus tan kengang inucap
Apan meksih nenggih sadungkap wuwus

Terjemahan:

Tinggallah kekosongan sampai hati kita,
Kosong, kosong belaka,
Keduaan hilang tak berwujud,
Tak adalah yang menambah dan yang ditambah
Tak adalah jiwa beraga
Jiwa memang tak beraga, itulah satu-satunya realitas,
Hilanglah kedua satuan
Dalam kesempurnaan hamba dan Tuhan
Sirna, bersama rupa dan berkeadilan sama (satu)
Itu tak lagi terkatakan !
Hanya sampai disitu kemampuan kita.



Kesempurnaan idea yang merupakan satu-satunya realitas disini amat terang. Yang sempurna itu memang harus satu, dimana ada semacam keduaan tentulah itu kekeliruan. Bagi manusia yang bijaksana, yang tahu akan hal-hal yang sebenarnya, maka tahullah ia akan kesatuan itu, pun kesatuan dirinya dengan Tuhan. Dunia dengan segala permacam-macamnya tidak dianggap realitas, semua relasi adalah pelanggaran terhaap kesatuan ini. Barangsiapa masih menganggap ada relasi itu, tentulah ia sendiri belum sempurna, belum merupakanInsan Kamil.
Kesulitan terhadap pantheisme ini telah kami katakan,karena ia masuk dalam rangkaian idealisme. Dalam aliran ini nilai pengalaman diabaikan atau sekurang-kurangnya tidak diperhatikan, sehingga dalam bentuknya yang extrim mengabaikan mengabaikan pengalaman dan alamnya. Hal yang nyata benar dalam bentuk pantheisme ini : satu-satunya realitas ialah idea. Jika idea ini disebut Tuhan, tak adalah perubahan prinsip, sebab tetap berarti Tuhan adalah identik dengan alam serta menusianya dan hilanglah nilai dan arti pengalaman. Kalau alam dan peng-alam-an tak berarti lagi, apakah yang dapat menjadi dasar pengetahuan dan ilmu dan apa lagi yang akan menjadi dasar kebenaran?
Ketidaksempurnaan alam dan manusia dianggap kekeliruan atau ketidak-tahuan, inipun terang melawan pengalaman kita dan kebenaran yang terdapat dalam kesadaran kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar